Oleh : Yoga Muhammad Ilham
Selamat ulang tahun yang ke-79 untuk Kepolisian Republik Indonesia. Di usia nyaris sepuh ini, Polri kembali membawa tema luhur nan familiar, 'Polri untuk Masyarakat'. Kalimat yang terdengar manis, setara slogan sabun cuci, tapi sayangnya tak sebersih niat di baliknya.
Kita disuguhkan potret Polri yang katanya makin humanis, makin presisi, makin dekat dengan rakyat. Tapi rakyat mana dulu? Sebab di Karawang, seorang mahasiswi korban pemerkosaan justru diminta berdamai saat ia melapor ke kantor polisi. Damai? Dengan pelaku? Bahkan pelaku sempat menikahi korban, hanya untuk menceraikannya sehari setelahnya. Barangkali Polri mengira ini sinetron, bukan sistem hukum.
Ini bukan sekadar pelanggaran etika. Ini penghinaan terhadap akal sehat. Sebab apa gunanya hukum, jika keadilan bisa dinegosiasikan atas nama 'kekeluargaan'? Apa gunanya aparat, jika nyawa dan tubuh perempuan bisa dianggap perkara pribadi yang cukup diselesaikan di ruang SPKT dengan selembar surat damai?
Tapi sudahlah. Mungkin kita terlalu naif. Mungkin slogan 'Polri untuk Masyarakat' itu memang benar hanya saja masyarakatnya berbeda. Bukan rakyat biasa, tapi mereka yang punya akses, kuasa, dan koneksi.
Setiap tahun, kita diundang merayakan Polri: parade, doa bersama, syukuran. Tapi untuk apa berpesta jika di luar sana korban kekerasan seksual malah jadi objek kompromi? Untuk apa menyanyikan pujian jika hukum masih pilih kasih dan aparat lebih sibuk menjaga citra daripada menegakkan nurani?
Jadi di usia ke-79 ini, barangkali Polri perlu hadiah. Bukan tumpeng, bukan karangan bunga. Tapi cermin besar, agar mereka bisa melihat siapa sebenarnya yang dilindungi selama ini dan siapa yang terus ditinggalkan.
Karena kalau Polri memang untuk masyarakat, kami ingin tanya satu hal saja, masyarakat yang mana?
Penulis adalah Koordinator BEM Nusantara Jawa Barat