Oleh : Muhammad Indra Kurniawan
Hamba sahaya, dalam kitab-kitab kuno, selalu disebut sebagai bagian dari tatanan. Mereka diatur, ditimbang, diberi hukum, seakan hidupnya hanya angka di dalam pasal, seakan tubuhnya hanyalah perkara halal-haram belaka. Tetapi tanyalah, siapa yang pernah benar-benar melihat matanya? Mata yang menyimpan letih abadi dari bekerja tanpa hak, dari mengabdi tanpa pilihan.
Dalam qawāʿid al-fiqhiyyah kita menemukan kaidah: al-masyaqqah tajlibu al-taysīr kesulitan itu mendatangkan kemudahan. Tetapi, adakah kemudahan yang pernah tiba di tubuh hamba sahaya? Kemudahan itu hanya milik majikan. Yang lelah tetaplah hamba, yang longgar tetaplah penguasa. Maka hukum berubah jadi alat, bukan rahmat.
Ada pula kaidah: al-dharar yuzāl mudarat harus dihilangkan. Maka tanyalah lagi, adakah mudarat yang lebih nyata daripada menjadi barang milik orang lain? Tetapi mudarat itu tidak dihapus, malah dilembagakan. Di kitab disebut “dibenarkan”, di pasar ia dijual-belikan, di rumah ia dipanggil dengan bentakan. Dan hukum, yang katanya datang untuk meniadakan mudarat, berubah menjadi saksi yang bisu.
Hamba sahaya bukan tubuh yang tunduk, ia adalah cermin. Cermin yang menampakkan kebangkrutan moral bangsa ini bangsa yang bisa menyebut dirinya beragama, beradab, tetapi tetap hidup dari peluh orang yang dipaksa. Dan ironi itu, Tuan, adalah ironi yang paling pahit: bahwa hukum yang semestinya menegakkan kemerdekaan, justru menjadi dalih untuk merawat perbudakan.
Qawāʿid al-fiqhiyyah adalah cahaya. Tetapi cahaya itu bisa dibelokkan oleh tangan yang rakus. Dalam tangan tuan tanah, ia jadi pisau. Dalam mulut penguasa, ia jadi dalih. Dan dalam hidup hamba sahaya, ia hanyalah bayangan samar janji keadilan yang tak pernah benar-benar tiba.
Hamba sahaya tetap diam. Karena diam adalah satu-satunya yang tersisa. Dan mungkin dalam diamnya ia lebih mulia daripada para fuqaha yang sibuk berdebat pasal, atau para priyayi yang sibuk mempertahankan kursinya. Sebab dalam diamnya terkandung pertanyaan abadi: bagaimana mungkin manusia memperbudak manusia, lalu menyebutnya adil atas nama hukum Tuhan?
Seorang fuqaha berkata, al-‘adah muhakkamah adat bisa dijadikan hukum. Maka adat perbudakan, yang berurat-akar dalam masyarakat feodal, dijadikan dasar legitimasi. Seakan karena ia telah lama berlaku, maka ia otomatis sahih. Lalu, apa jadinya hukum yang menyerahkan martabat manusia pada adat yang timpang? Bukankah itu sama saja dengan mengukuhkan belenggu? Bukankah itu menjadikan kitab sebagai cap pengesahan bagi kezaliman?
Namun jangan salah. Hamba sahaya, meskipun tubuhnya terikat, masih punya jiwa yang berdenyut. Dalam diamnya, ia memandang majikan, ia mendengar khutbah, ia menyimak ayat dan hadits yang keluar dari mulut orang-orang alim. Dan mungkin, dalam diam itu, ia menertawakan dengan getir: betapa mudahnya manusia menggunakan firman Tuhan untuk menjustifikasi kepentingannya sendiri.
Apakah benar hukum Tuhan itu setega ini? Apakah benar Sang Mahaadil merestui satu manusia memperbudak manusia lain? Ataukah manusialah yang rakus, yang pandai menyulap dalil menjadi dalih, qawāʿid menjadi pagar kepentingan, sehingga hukum yang seharusnya membebaskan malah dijadikan rantai yang mencekik?
Hamba sahaya tetap diam. Karena diam adalah satu-satunya yang tersisa. Ia tahu, kata-katanya tak akan didengar, keluhannya tak akan tercatat. Diamnya bukan tanda setuju, tapi tanda betapa sunyinya keadilan di negeri yang katanya beriman.
Dan mungkin dalam diam itu ia lebih mulia ketimbang para fuqaha yang sibuk berdebat pasal, ketimbang para priyayi yang sibuk mempertahankan kursi, ketimbang para pedagang yang sibuk menghitung untung.
Mungkin justru dari diam itu lahir pertanyaan abadi: bagaimana mungkin manusia memperbudak manusia, lalu menyebutnya adil atas nama Tuhan? Bagaimana mungkin hukum dijadikan selimut untuk menutupi kezaliman, lalu orang-orang alim tersenyum puas, seakan telah menjalankan tugasnya?
Qawāʿid al-fiqhiyyah adalah cahaya, cahaya yang dimaksudkan untuk menuntun manusia keluar dari kegelapan. Tetapi dalam tangan tuan tanah, cahaya itu dibelokkan menjadi pisau; dalam mulut penguasa, ia diucapkan sebagai dalih; dalam kehidupan hamba sahaya, ia tak lebih dari bayangan samar, janji keadilan yang tak pernah benar-benar tiba.
Dan ironinya, sejarah bangsa ini penuh dengan hamba sahaya di sawah, di dapur, di pasar, di rumah priyayi. Mereka mungkin telah mati, mungkin telah lama hilang dari catatan resmi, tapi jejaknya masih melekat di tanah dan darah bangsa ini.
Dan setiap kali kita membaca kembali qawāʿid al-fiqhiyyah, seharusnya kita mendengar bisikan getir mereka: hukum tanpa keadilan hanyalah belenggu baru, dan agama tanpa keberpihakan hanyalah topeng bagi yang berkuasa.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin


