Iklan

Iklan

Kekerasan di Perguruan Tinggi, Perempuan Melawan dan Hukum Berkeadilan

BERITA PEMBARUAN
03 Maret 2022, 16:54 WIB Last Updated 2022-09-15T04:16:30Z




Oleh : Milda Amanda Putri 


Perguruan Tinggi merupakan sentra pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), dan karena itulah membuat bangsa Indonesia sangat berharap pada lembaga-lembaga perguruan tinggi, untuk dapat melahirkan generasi penerus calon pemimpin bangsa yang unggul dan membawa Indonesia berkemajuan. 


Hal ini jelas ditegaskan dalam Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi. Fungsi dan peran perguruan tinggi sebagai wadah pembelajaran mahasiswa dan masyarakat, wadah pendidikan calon pemimpin bangsa, pusat pengembangan ilmu pengetahuan, pusat kekuatan moral, dan sebagai pusat pengembangan peradaban bangsa.


Maka, perguruan tinggi harus mejadi tempat yang aman dan nyaman dalam menyiapkan kualitasnya sebagai generasi penerus. Namun dalam faktanya terganggu dengan maraknya peristiwa hari ini banyak sekali terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan. 


Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.


Di perguruan tinggi, dosen memiliki wewenang terhadap mahasiswa. Akibatnya kini beberapa oknum dosen memanfaatkan kewenangan tersebut untuk melalukan kekerasan seksual terhadap mahasiswi nya yang seharusnya memberikan cerminan baik untuk masyarakat.


Terbukti dengan data yang disampaikan oleh Mendikbudristek bahwa peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juli 2021 terdapat 2.500 kasus. Dan beberapa hari yang lalu disalah satu perguruan tinggi di Kota Banjarmasin mahasiswi mendapatkan pelecehan dari dosennya sendiri. Dampak dari kekerasan seksual ini bisa sampai jangka panjang hingga permanen dan mempengaruhi masa depan perempuan khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa.


Perempuan Melawan Perempuan Indonesia telah mengambil peran penting dalam perjuangan perjalanan bangsa. Misalnya era sebelum hingga kemerdekaan pada 1945, era pasca-kemerdekaan hingga tahun 1965, era Orde Baru hingga 1998 dan tahun 1998 hingga sekarang.


Era sebelum hingga atas prakarsa Boedi Oetomo pada tahun 1912, didirikanlah organisasi perempuan pertama di Jakarta bernama Poetri Mardika. Dalam upaya pemberdayaan perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan juga ada Kartini dengan perjuangan pendidikannya dan Kongres Perempuan pertama di Indonesia pada tahun 1928 di Yogyakarta. 


Kongres tersebut menghasilkan poin-poin penting isu perjuangan perempuan Indonesia, di antaranya pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak, dan upaya menghancurkan ketimpangan dalam kesejahteraan sosial melalui perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita.


Era pasca-kemerdekaan hingga tahun 1965 berbagai organisasi perempuan mulai menggeliat kembali. Hal ini bisa dilihat dari terbentuknya organisasi-organisasi perempuan seperti Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) yang berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). isu yang diperjuangkan ialah kesataraan dan pemberantasan buta huruf.


Era Orde Baru hingga 1998 saat pasca peralihan kepemimpinan orde lama ke orde baru menjadikan gerakan perempuan banyak dimusnahkan. Gerakan perempuan melawan adat dan imperialisme tidak diperbolehkan. adanya kontrol pusat negara yang diperbolehkan hanyalah menjalankan program nasional, yakni Keluarga Berencana dan menjadi anggota organisasi istri yang disebut Dharma Wanita (untuk istri PNS), dan Dharma Pertiwi (untuk istri ABRI) Sedangkan untuk perempuan yang bukan istri dari PNS dan ABRI, akan diarahkan untuk aktif pemberdayaan kesejahteraan keluarga, Posyandu, atau menjadi penyuluh keluarga berencana.


Era 1998 sampai sekarang memang kedudukan perempuan Indonesia saat ini jauh lebih baik. Bahkan hak perempuan dalam berkesempatan menjadi pemimpin, dan berpolitik juga terbuka dan terus berkembang di Indonesia. Namun tetap saja karena sekarang era disrupsi, perubahan tidak terjadi secara bertahap namun meyerupai ledakan gunung berapi yang meluluhlantahkan ekosistem lama dan menggantinya degan ekosistem baru yang sama sekali berbeda, lebih komplek daripada sebelumnya mempunyai tantangan khusus, dan hari ini juga meledak berkenaan dengan kekerasan seksual. Dari itu perempuan harus tetap melawan.


Hukum dan Berkeadilan


Hukum dan keadilan menjadi dua hal yang tidak mungkin dipisahkan, baik dalam hal hakikatnya maupun dalam hal pencapaiannya. Hukum yang berkeadilan sampai saat ini memang masih sulit dicari terutama pada sikap moral seseorang yang mempunyai kekuatan atau jabatan.


Dalam hal ini masyarakat terutama kaum perempuan sangat mengharapkan hukum mampu memberikan rasa keadilan. Pada hakekatnya, hukum tanpa keadilan hanya akan membuat permasalahan hukum yang lain, tanpa ujung penyelesaian.


Penetapan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). 


Permendikbudristek PPKS hadir sebagai solusi atas berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi.


Kemenag telah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Pedoman ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019.


Kedua peraturan tersebut harus untuk memperkuat harus dibikin turunan dari kebijakan tersebut melalui Peraturan Rektor yang tentunya berpihak kepada kepentingan mahasiswa dan  menciptakan kampus yang bebas kekerasan seksual. Implementasi dari peraturan harus dilakukan dengan seluruh unsur tanpa terkecuali.


Selanjutnya kita masih harus mengawal karena dari tahun 2016 sampai saat ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebab RUU ini merupakan payung hukum untuk mecegah bertambahnya korban kekerasan seksual di Indonesia.



Penulis adalah Ketua Umum Kohati Komisariat Fakultas Syariah Cabang Banjarmasin dan Anggota Bidang Penelitian dan Pengembangan KM-Tapin Kalsel 


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kekerasan di Perguruan Tinggi, Perempuan Melawan dan Hukum Berkeadilan

Terkini

Topik Populer

Iklan