Iklan

Iklan

Jika Pemerintah Tidak Kabulkan Tuntutan Buruh, AASB Minta Jokowi Mundur

BERITA PEMBARUAN
17 September 2022, 08:54 WIB Last Updated 2022-09-17T01:55:51Z
Sekjend KSPSI, Arif Minardi dan AASB saat presscon, Jumat (16/09/2022),(foto:ari)


JAKARTA -  Presidium Aliansi Aksi Sejuta Buruh, Arif Minardi menegaskan Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) Turunkan Harga BBM, Cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan Batalkan RUU-KUHP akan melakukan aksi unjuk rasa akbar serentak pada tanggal 10 Oktober 2022 di Jakarta dan di berbagai Ibu Kota Propinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.


"Hingga sekarang, Aliansi ini telah diikuti lebih dari 40 Konfederasi, Federasi, Serikat Pekerja di Seluruh Indonesia. Aksi unjuk rasa akbar ini akan dilakukan karena Pemerintah maupun DPR tidak menghiraukan aspirasi yang disampaikan melalui unras, yang telah dilakukan oleh berbagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang terjadi hampir di seluruh daerah terutama di Jakarta," ungkap Arif Minardi saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (16/09/2022).


Hal ini, kata dia, malahan direspons dengan menaikan harga BBM yang membuat perekonomian kaum buruh semakin terjepit, dan juga men-sah-kan revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sehingga bisa menjadi alat untuk melegitimasi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi Konstitusional dan berlaku di Indonesia serta kami menolak untuk DPR mensahkan RUU-KUHP menjadi UU KUHP.


"Seperti kita ketahui bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja ini sudah bermasalah sejak awal pembentukannya dan hal itu tergambar dengan jelas dari reaksi yang timbul dari banyak komponen masyarakat. Karenanya bisa dikatakan bahwa Pemerintah bersama DPR telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pembentukan UU tersebut. Tanda-tanda bahwa pemerintah bersama DPR akan tetap melanjutkan cara-cara akrobatik terlihat pada proses revisi UU PPP yang prosesnya sangat cepat," beber Arif Minardi 


Dijelaskan juga, bila kita menyimak Putusan MK tentang UU Omnibus Law Cipta Kerja, akan terlihat bahwa tidak mungkin UU ini menjadi Konstitusional, bahkan setelah revisi UU PPP disahkan kecuali diulang dari awal sejak mulai perencanaan dan penyusunannya.BSalah satu pelanggaran yang tidak memungkinkan UU Omnibus Law Cipta Kerja dapat disahkan adalah Putusan MK yang menyatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut melanggar asas yang tercantum dalam UU PPP. Pelanggaran asas tersebut adalah tidak secara memadai dilibatkannya berbagai pemangku kepentingan termasuk SP/SB sebagai representasi pekerja/buruh dalam proses pembentukannya.


"Selain itu, secara gambling UU Omnibus Law Cipta Kerja ini melanggar Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu mengabaikan asas keterbukaan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan. Sehingga sebagai pihak terdampak langsung dalam hal ini pekerja/buruh tidak dapat memberikan masukan baik dalam tahap perencanaan dan penyusunan draft/naskah maupun saat pembahasan di DPR," kata dia.


Dengan mengabaikan asas keterbukaan itu, menurutnya, maka Materi Muatan UU Cipta Kerja ini banyak melanggar kaidah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana materi-materi muatannya di antaranya mengabaikan asas pengayoman, asas keadilan dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan di mana setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan dan rasa keadilan sehingga menciptakan ketenteraman dalam masyarakat.


"Akibat proses pembentukan UU yang banyak melanggar asas sebagaimana telah disebutkan diatas, maka pekerja/buruh merasakan ketidakadilan serta hilangnya perlindungan dari negara dalam masa bekerja karena status kerja yang tidak ada kepastian akibat kerja kontrak, alih daya (outsourcing) dan ancaman PHK yang setiap saat menghantuinya serta aturan yang menurunkan standar kesejahteraan. Tentu saja hal ini akan menyebabkan terganggunya keseimbangan, keserasian dan keselarasan serta produktivitas dalam hubungan industrial," jelasnya.


Masih kata dia, di samping itu UU Omnibus Law Cipta Kerja juga telah mengabaikan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena mulai dari perencanaan dan penyusunannya tidak melibatkan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit dan ini artinya tidak terjadi proses komunikasi, konsultasi, musyawarah secara tuntas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (19) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Lanjut dia, demikian juga halnya UU Omnibus Law Cipta Kerja telah mengabaikan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) & (2), pasal 25 ayat (1) & (2), pasal 27, yang pada dasarnya SP/SB berfungsi memperjuangkan kepentingan anggotanya agar sejahtera dan berperan dalam mewakili pekerja/buruh dalam LKS Tripartit. Faktanya SP/SB tidak dilibatkan dalam perencanaan penyusunan draft/naskah RUU Cipta Kerja padahal ini menyangkut nasib lebih dari 56 juta pekerja formal beserta keluarganya yang artinya juga pasti mempengaruhi kesejahteraan rakyat secara umum. 


"Dari uraian di atas, Aliansi Aksi Sejuta Buruh menuntut Pemerintah untuk  Turunkan Harga BBM, Mencabut UU Omnibuslaw Cipta Kerja No. 11 tahun 2020, Batalkan RUU-KUHP. Bila tuntutan ini tidak dikabulkan maka kami meminta Bapak Joko Widodo mundur sebagai Presiden Republik Indonesia," tandas Arif Minardi, Presidium Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB).[*/Ari]

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Jika Pemerintah Tidak Kabulkan Tuntutan Buruh, AASB Minta Jokowi Mundur

Terkini

Topik Populer

Iklan