![]() |
Wakil Ketua Komisi III DPRD Karawang H.Erick H.Kusumah, S.E (foto: rm) |
KARAWANG - Puluhan pelaku usaha sedot WC yang tergabung dalam Asosiasi Sedot WC Karawang (ASWK) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kabupaten Karawang pada Selasa (25/6/2025) pagi.
Aksi ini digelar sebagai bentuk protes atas belum tertatanya tata kelola limbah domestik dan sanitasi di wilayah Karawang.
Sekitar 30 orang peserta aksi, yang berasal dari berbagai kecamatan seperti Telukjambe, Klari, dan Karawang Barat, mulai berkumpul pukul 09.30 WIB dengan membawa spanduk bertuliskan 'Aspirasi Kami Bukan Kotoran' dan 'Asosiasi Sedot WC Karawang Menuntut Perlindungan dan Kepastian Usaha'.Aksi ini dipimpin koordinator lapangan Haerudin.
Dalam orasinya, massa menuntut adanya solusi konkret terkait ketiadaan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Karawang dan mendesak pelibatan pelaku sedot WC dalam penyusunan kebijakan, termasuk Peraturan Daerah (Perda) tentang retribusi dan sanitasi.
Selain itu, mereka juga menyampaikan keresahan atas tidak adanya kepastian lokasi pembuangan yang sah dan terjangkau.
“Kami hanya punya dua tuntutan: tunjukkan tempat pembuangan lumpur tinja yang legal, dan libatkan kami dalam penyusunan Perda. Jangan sampai kami dianggap pencemar lingkungan hanya karena pemerintah tidak menyediakan fasilitas,” tegas Haerudin.
Massa juga menyampaikan bahwa surat permohonan audiensi telah dikirimkan ke DPRD sejak 16 Mei 2025, namun belum mendapat tanggapan yang jelas. Mereka menilai bahwa selama ini kebijakan dibuat tanpa melibatkan pelaku usaha yang paling terdampak.
Sekira pukul 09.55 WIB, perwakilan massa diterima oleh Wakil Ketua Komisi III DPRD Karawang, H. Erick Heryawan Kusumah,S.E., untuk melakukan dialog di ruang Komisi III.
Dalam audiensi tersebut, sejumlah pelaku usaha menyampaikan permasalahan mereka secara langsung.
Danu, salah satu pelaku usaha, mengingatkan DPRD agar tidak lambat merespons persoalan ini.
“Kami tidak ingin Karawang bernasib seperti daerah lain seperti Bekasi atau Purwakarta, di mana biaya distribusi limbah sangat tinggi karena tidak ada komunikasi antara pemerintah dan pelaku lapangan,” ujarnya.
Sementara itu, pelaku usaha lainya, Septian mengungkapkan bahwa upaya mencari solusi ke luar daerah seperti Bantargebang dan Mustikawati di Bekasi telah dilakukan, namun tidak berhasil karena rumitnya proses izin dan jauhnya lokasi.
“Kami ini ibarat pasukan yang membersihkan pintu neraka. Tapi justru dianggap beban. Kami hanya ingin kepastian dan pengakuan,” katanya dengan nada emosional.
Menanggapi aspirasi tersebut, H. Erick menyampaikan bahwa DPRD sangat memahami keresahan para pelaku usaha sedot WC.
Ia berkomitmen untuk memfasilitasi rapat dengar pendapat (RDP) dalam waktu dekat, dengan menghadirkan dinas-dinas teknis seperti PRKP, DLHK, PUPR, dan Dinas Kesehatan.
“Aspirasi kalian ini bukan sekadar bisnis, tapi juga bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Komisi III siap memulai formulasi kebijakan berbasis partisipasi publik. Kita akan dorong adanya Perda baru yang bisa mengatur tata kelola limbah secara adil, partisipatif, dan berpihak pada pelaku lokal,” ujar Erick.
Ia menambahkan, RDP akan dijadwalkan setelah Banmus DPRD menyusun agenda kerja sebulan ke depan. Erick juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengundang unsur akademisi seperti dari UNSIKA atau UBP untuk menyusun kebijakan yang legal dan implementatif.(firzan).