![]() |
Ketua Kelompok Tani Tunas Muda Nuri Tadi (kiri) bersama anggota kelompoknya di area kebon jagung di Desa Matang Batas Hatungun Kabupaten Tapin, Kalsel. (foto: Ron) |
RANTAU-TAPIN - Di tengah gempuran era digital dan urbanisasi yang semakin pesat, seorang pemuda asal Desa Matang Batas, Kecamatan Hatungun, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, justru memilih kembali ke akar pertanian.
Dialah Nuri Yadi (33), seorang sarjana pertanian sekaligus Ketua Kelompok Tani Tunas Muda, yang kini giat mengajak kaum milenial untuk melirik sektor pertanian, khususnya budidaya jagung, sebagai peluang emas untuk meningkatkan ekonomi perdesaan.
“Kita punya lahan luas, iklim mendukung, dan semangat gotong royong. Ini potensi luar biasa yang harus dimanfaatkan,” ujar Nuri saat ditemui, Senin (18/8/2025).
Menurutnya, di tengah persaingan dunia kerja yang semakin ketat, bertani bukan lagi pilihan terakhir justru bisa menjadi langkah strategis. Ia menyebut jagung sebagai salah satu komoditas yang sangat menjanjikan di daerahnya.
“Jagung punya pasar yang jelas, masa panennya singkat, dan mudah perawatan. Hasilnya juga bisa bernilai ekonomi tinggi,” jelasnya.
Nuri menuturkan bahwa di Desa Matang Batas, jagung bisa ditanam dua kali dalam setahun. Rata-rata hasil panen mencapai 5-6 ton per hektare, dengan modal awal sekitar Rp12 juta per hektare, yang mencakup pembelian bibit, pupuk, obat-obatan, hingga biaya operasional lainnya.
Tak hanya berhenti di sektor hulu, Nuri kini tengah mengembangkan produk olahan beras jagung dalam kemasan. Produk ini ditargetkan tidak hanya sebagai bahan pangan alternatif, tetapi juga sebagai pakan ternak berkualitas.
“Izin usaha dari DPMTSP sudah kami kantongi, mesin pengolahan skala kecil juga sudah tersedia. Sekarang kami butuh dukungan permodalan, operasional, serta sertifikasi mutu dan HAKI,” ungkapnya penuh semangat.
Berbekal pengalaman dan latar belakang pendidikan pertanian, Nuri optimis bisa mewujudkan mimpinya menjadikan Kabupaten Tapin sebagai sentra jagung di Kalimantan Selatan.
Ia berharap pemerintah daerah bisa lebih aktif dalam mendukung gerakan pemuda bertani ini, terutama dalam hal pembinaan, akses permodalan, serta regulasi pasar.
Namun, ia juga menyoroti persoalan klasik dalam sektor pertanian, seperti keterlambatan distribusi pupuk subsidi dan bantuan bibit yang kerap tidak tepat waktu.
“Bantuan sering datang tidak sesuai masa tanam. Ini membuat manfaatnya jadi tidak maksimal bagi petani di daerah kami,” tutup Nuri.(ron)