Oleh : Muhammad Indra Kurniawan
Tuan, Marxisme lahir jauh di Eropa, di tengah pabrik-pabrik berasap, di tengah buruh-buruh yang digiling mesin. Tetapi ketika sampai ke tanah ini, ia tidak lagi sekadar bicara tentang mesin dan pabrik. Ia menemukan dirinya di sawah yang terpanggang matahari, di ladang tebu yang habis diperas, di pelabuhan di mana kuli-kuli mengangkat karung tanpa upah yang pantas.
Marxisme di tanah jajahan ini bukan teori yang diajarkan di ruang kelas universitas, melainkan teriakan perut lapar, keringat petani yang tak pernah cukup, nelayan yang selalu kalah oleh tengkulak, dan buruh perkebunan yang tubuhnya habis sebelum usianya mencapai setengah abad.
Bagi orang Eropa, Marxisme adalah alat untuk melawan mesin dan kapital yang merajalela. Bagi pribumi, Marxisme adalah kaca untuk melihat dengan jernih bahwa sejak lahir mereka sudah dirampas tanahnya, tenaganya, martabatnya.
Kapitalisme di sini bukan sekadar soal majikan dan buruh, tetapi juga soal bangsa yang menindas bangsa lain. Maka, Marxisme ala Pribumi tidak pernah bisa berhenti pada teori. Ia segera menjelma jadi keberanian, keberanian menolak pajak yang mencekik, keberanian melawan tuan tanah yang rakus, keberanian menegakkan kepala meski senjata diarahkan ke dada.
Dan lihatlah, Tuan, bagaimana ia hidup. Ia hidup dalam cerita para petani yang diusir dari sawahnya, dalam keringat kuli pelabuhan yang diperas hingga kering, dalam nyanyian kaum muda yang mencari kata merdeka. Ia tidak membutuhkan buku tebal untuk membenarkan dirinya, karena kenyataan sehari-hari sudah lebih tebal daripada teori mana pun.
Marxisme ala Pribumi lahir dari perut yang lapar, dari tanah yang dirampas, dari kesadaran bahwa hidup sederhana pun tak mungkin dicapai bila kuasa terus berdiri di atas kepala mereka.
Inilah, Tuan, Marxisme yang tidak hanya bicara tentang kelas, tetapi juga tentang bangsa; yang tidak hanya menuntut roti, tetapi juga tanah dan martabat; yang tidak hanya ingin membebaskan buruh dari mesin, tetapi juga membebaskan manusia dari penindasan sejarah.
Dan bila ia disebut ala Pribumi, itu karena ia bukan sekadar salinan dari Eropa, melainkan darah daging dari penderitaan bangsa yang terlalu lama ditindas.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin, Kalsel