![]() |
Masady Manggeng (foto: ist) |
JAKARTA - Dua dekade pasca-penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), keistimewaan Aceh dinilai masih menghadapi tantangan serius. Alih-alih memperkuat otonomi daerah, posisi tawar Aceh di tingkat nasional justru kian melemah.
Hal tersebut disampaikan politisi PDI Perjuangan asal Aceh, Masady Manggeng. Ia menyoroti absennya perwakilan Aceh di Komisi II DPR RI sebagai indikasi nyata semakin rapuhnya pengaruh Aceh dalam proses legislasi nasional.
“Tanpa wakil Aceh di Komisi II, isu-isu strategis yang menyangkut kekhususan Aceh kehilangan corong langsung di Senayan,” ujar Masady dalam keterangannya di Jakarta, Senin (8/9/2025).
Komisi II DPR RI merupakan mitra strategis Kementerian Dalam Negeri yang membidangi urusan pemerintahan, otonomi daerah, hingga pelaksanaan UUPA.
Menurut Masady, ketidakhadiran wakil Aceh di komisi tersebut membuat kepentingan rakyat Aceh kerap tidak tersalurkan secara optimal di pusat.
Padahal, UUPA secara tegas menyatakan kewajiban pemerintah pusat untuk berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan Aceh. Namun dalam praktiknya, konsultasi tersebut kerap bersifat administratif dan tidak memiliki kekuatan mengikat secara politik.
“DPRA tetap diposisikan setara dengan DPRD provinsi lain, padahal Aceh memiliki status khusus. Akibatnya, banyak kebijakan strategis seperti pengelolaan dana otonomi khusus dan sengketa batas wilayah ditetapkan tanpa melibatkan lembaga politik Aceh secara substansial,” jelasnya.
Saat ini, dengan jumlah penduduk sekitar 5,4 juta jiwa (BPS Aceh, 2024), Aceh hanya memperoleh 13 kursi di DPR RI. Jumlah ini dianggap tidak proporsional dibandingkan dengan provinsi lain seperti Jawa Barat (96 kursi) atau Jawa Timur (87 kursi).
“Keterbatasan jumlah kursi dan absennya wakil Aceh di Komisi II semakin menyempitkan ruang representasi politik kita. Sepanjang 2020–2024, Komisi II membahas isu penting seperti revisi UU Pemerintahan Daerah, evaluasi dana otsus, dan penyelesaian batas wilayah. Semua ini sangat relevan bagi Aceh,” kata Masady.
Ia mengusulkan tiga langkah strategis untuk memperkuat posisi tawar Aceh di tingkat nasional. Pertama, mengaktifkan kembali Forbes Aceh (Forum Bersama DPR RI dan DPD RI asal Aceh) agar tidak hanya menjadi wadah komunikasi, tetapi juga instrumen lobi lintas komisi.
Kedua, mendorong revisi regulasi alokasi kursi DPR RI agar Aceh memperoleh representasi yang lebih adil sesuai kekhususan yang diatur dalam UUPA. Ketiga, memastikan wakil Aceh dapat duduk di Komisi II pada periode mendatang.
“DPRA memang penting, tapi realitas politik nasional ditentukan di Senayan. Wakil rakyat Aceh di DPR RI harus membangun mekanisme konsultasi reguler dengan DPRA agar aspirasi masyarakat Aceh bisa langsung tersampaikan ke pusat,” ujarnya.
Masady mengingatkan, jika representasi politik Aceh tidak diperkuat, maka keistimewaan yang dijanjikan dalam UUPA dan MoU Helsinki berisiko hanya menjadi simbol belaka.
“Jika Aceh terus absen di ruang strategis seperti Komisi II, maka kekhususan Aceh hanya akan tinggal formalitas di atas kertas. Kita harus memastikan amanat MoU Helsinki benar-benar dijalankan, bukan sekadar menjadi jargon politik,” pungkasnya.(Ari)