Oleh : N.Hartono
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya.
Kita sebagai anak bangsa pastinya akan selalu ingat dan mengenang 75 tahun silam. Tepatnya tanggal 10 November 1945. Pada saat itu terjadi satu peristiwa heroik bagi segenap rakyat Indonesia, dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru dua bulan diproklamasikan, pada 17 Agustus 1945.
Peristiwa bersejarah ini, dipicu dengan tewasnya Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby, dalam pertempuran di Surabaya. Tewasnya petinggi sekutu itu menjadi pemicu terjadinya pertempuran hebat di Surabaya.
Pertempuran hebat yang mendunia tersebut, selain mempertahankan kemerdekaan yang masih baru dua bulan. Pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Sutomo atau biasa disapa Bung Tomo memberikan semangat melalui orasi-orasinya di radio, hingga menambah energi baru arek-arek Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan.
Hingga saat ini peristiwa heroik tersebut senantiasa kita peringati sebagai Hari Pahlawan.
Pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani
Namun beda dengan kata Kepahlawanan yang merupakan kata sifat pahlawan atau perihal sifat pahlawan (seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan)
Saat ini menurut penulis, kita sebagai anak bangsa senantiasa mengenang dan memperingati di setiap bulan November sebagai Hari Pahlawan.
Di seantero negeri ini, diberbagai kesempatan dan tempat selalu memuja serta memuji perjuangan para pahlawan.Mungkin ini bisa dikatagorikan salah satu penghormatan terhadap jasa para Pahlawannya.
Jujur dan diyakini mereka (para Pahlawan) tak mengharapkan segala upacara dan penghargaan, mereka ikhlas, tulus berjuang tanpa kepentingan selain kemerdekaan rakyat dari cengkraman penjajah dengan segala pengorbananya.
Pahlawan tak dilahirkan melainkan sebuah keharusan sejarah, karena keadaan, meski sebagai manusia tak luput dari kesalahan. Akankah mereka sekarang tersenyum dan merasakan kepuasan dari jerih payah perjuangan yang sudah dilakukannya ?
Ataukah mereka sekarang berduka dalam kesedihan, menitikkan air mata kedukaan yang mungkin akan berkepanjangan. Bila dikomparasikan dengan keadaan negeri kita saat ini.
Tak dapat kita salahkan karena ada sesuatu yang hilang dan mungkin lenyap esensi dari segala wujud peringatan dan upacara yang kadang megah dengan segala embel-embel lomba ini dan itu.
Mungkin kita tak sadar, bahwa kita terjebak pada kulit ketimbang isi. Ya isi, pengorbanan mereka adalah keikhlasan, kejujuran, mengutamakan persatuan, merawat menjaga keharmonisan meski didalamnya banyak perbedaan. Mereka tak hendak suka kepentingan, agama, kelompok, etnis, suku atau golongan. Budaya penikmat, penyuka di tempat kenikmatan, cinta pada kepuasan diri dan fisik, abai pada hak dan kepentingan saudara-saudara kita.
Kita lebih dinilai berdaya, jika bisa mencerca dan menafikan kawan. Tahukah kita, jika yang kita lestarikan adalah kepentingan, kita abaikan kejujuran, utamakan diri sendiri dan golongan, maka cepat atau lambat kita menggali kubur untuk diri dan bangsa ini.
Saat ini kita butuhkan adalah nilai- nilai kepahlawanan itu sendiri. Bukan kita terobsesi ingin dan bercita-cita jadi Pahlawan.
Pahlawan tidak bisa kita cita-citakan , namun sikap dan menteladani kepahlawananlah yang mesti kita 'kejar' untuk dijadikan sikap dan perilaku kita dalam menjalankan aktivitas diberbagai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selamat Hari Pahlawan
*Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik