Iklan

Iklan

Buah Busuk Sekularisme, Rakyat Miskin Negara Abai

BERITA PEMBARUAN
06 Oktober 2022, 11:18 WIB Last Updated 2022-10-06T04:18:53Z


Oleh : Lifa Umami, S.H.I



Masyarakat Indonesia sedang banyak dirundung masalah. Salah satu diantaranya adalah kasus kematian misterius enam warga Suku Baduy, Banten, yang meninggal dunia dalam sebulan terakhir. Keenam warga Baduy yang meninggal dunia itu, yakni empat balita yang berasal dari Baduy Dalam dan Baduy Luar serta dua orang dewasa. Kepala Puskesmas Cisimeut Dede Herdiansyah mengatakan, gejala yang dialami keenam warga sebelum meninggal diantaranya batuk hingga diare.


Penyebab kematian enam warga Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, yang sebelumnya dianggap misterius akhirnya terungkap. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten dr. Ati Pramudji Hastuti mengatakan, keenam orang itu ternyata meninggal karena penyakit tuberkulosis.


Tak hanya masalah itu, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Drajat Murtianto, mengungkapkan bahwa 50% penduduk Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi (_hidden hunger_). Hal itu disebabkan kekurangan zat gizi mikro berupa zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A dan zat gizi mikro lainnya. “Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah dan sayuran yang mengandung zat gizi mikro. Mereka mengalami kelaparan tersembunyi. Disebut kelaparan tersembunyi karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, namun sesungguhnya dampaknya sangat besar. Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan dan imunitas,” jelasnya dikutip dari laman resmi IPB University. (Mediaindonesia.com, 18/9/2022)


Juga, permasalahan yang dialami  seorang warga bernama Undang (42) yang bernasib pilu usai rumahnya dirobohkan oleh rentenir. Hal itu terjadi usai warga Kampung Haur Seah, Cipicung, Banyuresmi, Garut itu tak bisa melunasi utang sang istri senilai Rp 1,3 juta. Istrinya mengatakan bahwa uang tersebut dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.


Rentetan fakta mengenaskan menimpa masyarakat, mulai dari rumah dibongkar karena terjerat utang rentenir, mati misterius karena penyakit tak tertangani, hingga data akademik yang menyatakan bahwa 50% penduduk mengalami kelaparan tersembunyi adalah fakta yang ada dan terpampang nyata. 


Sekularisme Pangkalnya


Fakta permasalahan di atas adalah sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat. Tidak dipungkiri masalah kesejahteraan di Indonesia memang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) yang sangat besar. Tidak hanya soal jaminan finansial untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, dan papan. Tetapi juga jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan hak-hak sosial lainnya. Karena hal itu adalah hak rakyat yang harus diberikan oleh negara.


Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2021, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 9,71%. Dengan kata lain, jumlah penduduk miskinl bertambah 1,72 juta orang dibandingkan periode yang sama pada 2019. Jumlah yang besar ini belum berbicara indikator kemiskinan yang masih menjadi perdebatan.


Adapun Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) justru memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak. Yakni menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta orang. Hal ini adalah akibat melemahnya anggaran perlindungan sosial dan ekonomi, ditambah lagi beban krisis pasca pandemi.


Ironisnya, pemerintah selalu mengklaim data kemiskinan dari tahun ke tahun terus melandai. Namun, fakta tentang kemiskinan tentu saja tidak bisa diabaikan karena problem ini biasanya seperti lingkaran setan. Banyak problem sosial lain yang lahir dari problem kemiskinan, tetapi tidak berujung pangkal.


Terlebih, jika melihat problem ketimpangan yang masih sangat lebar. Tercatat pada 2021 rasio gini masih di angka 0,381. Artinya pertumbuhan ekonomi yang juga sering diklaim meningkat, nyatanya mencerminkan pertumbuhan ekonomi si kaya saja. Sementara si miskin tetap berada di level ekonomi yang paling bawah. Tidak heran jika pada 2021 masih ada 4% penduduk yang terkategori miskin ekstrem.



Krisis ekonomi dan kesehatan global seringkali diklaim sebagai penyebab situasi buruk ini terjadi. Padahal, problem kemiskinan dan krisis multidimensi yang berimplikasi pada rendahnya taraf kesejahteraan masyarakat, sejatinya telah menjadi ciri khas yang terus melekat pada sistem hidup yang diterapkan oleh para pemangku kekuasaan.


Jika dibandingkan dengan berbagai potensi strategis yang dimiliki Indonesia, problem kronis kemiskinan tentu menjadi sangat ironis. Bagaimana bisa, negeri Indonesia yang sangat kaya sumber daya, baik alam maupun manusianya, bisa menderita luar biasa? Bagaimana bisa negeri yang dikenal gemah ripah loh jinawi ternyata angka kemiskinannya selalu tinggi?


Jika kita mau jujur, problem kemiskinan yang berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan, sejatinya berakar dari sistem hidup sekuler kapitalisme yang diterapkan. Sebagaimana namanya, sistem ini memang memberi ruang bagi segelintir pemilik modal (kapitalis) untuk menguasai kekayaan alam yang hakikatnya merupakan milik rakyat secara keseluruhan.


Negara dan penguasa dalam sistem ini juga tak berfungsi sebagai pelayan umat. Negara hanya berfungsi sebagai regulator yang melayani kepentingan kekuatan modal. Tidak heran jika kebijakan yang dikeluarkan seringkali berselisih dengan kepentingan rakyat kebanyakan, tapi hanya berpihak pada kaum pemilik cuan.


Berbagai layanan publik, termasuk pendidikan dan kesehatan, faktanya terus dikapitalisasi. Berbagai program subsidi juga dianggap beban sehingga terus dipermasalahkan dan dihapuskan. Sementara itu, kebijakan yang memanjakan para kapitalis terus diaruskan. Lingkaran setan kemiskinan tidak akan pernah bisa selesai dalam rantai tata kelola sistem ekonomi kapitalisme. Ini karena kebebasan kepemilikan yang diagung-agungkan oleh sistem ini telah nyata menjadi penyebab makin tingginya ketimpangan. Sistem ini menjadikan para pemilik modal bebas memiliki sumber daya alam yang dibutuhkan publik.



Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator , bukan sebagai pengurus dan penanggung jawab urusan rakyatnya. Negara model neoliberal memang tidak memiliki fungsi mengurusi urusan warganya karena hubungan yang terjalin antara pemerintah dan rakyatnya adalah sebatas penjual dan pembeli. Rakyat membeli sejumlah kebutuhan, pemerintah menjual sejumlah fasilitas. Walhasil, 'layanan prima' harus diberikan pemerintah pada rakyat sebagai umpan balik agar sama-sama diuntungkan.


Sepanjang kepemimpinan dan aturan masih berparadigma sekuler kapitalisme liberal, problem minimnya kesejahteraan tidak akan mungkin bisa diselesaikan. Semua proyek pengentasan kemiskinan juga akan berakhir dengan kesia-siaan. 


Terbukti dari rezim ke rezim problem kemiskinan tidak pernah bisa dientaskan hingga nasib rakyat pun nyaris tergadaikan. Bahkan, semua rezim seakan saling mewarisi problem kemiskinan, meskipun masing-masing saling mengeklaim telah berbuat banyak untuk mencari jalan ke luar.


Islam Satu-Satunya Harapan


Kemampuan Islam dalam menjamin kesejahteraan rakyat, memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat bukanlah sekedar isapan jempol. Sejarah telah membuktikan, kehidupan masyarakat Islam pada era Khilafah sepanjang belasan abad benar-benar diliputi kebaikan dan keberkahan.


Kita ambil satu contoh, yaitu pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.  Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai pemimpin yang adil, bertanggung jawab, dan sangat mengutamakan kehidupan rakyat. Kebijakan ekonominya mampu mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada seluruh warga negara. Oleh karena itu, tidak ada seorang miskin pun yang membutuhkan subsidi atau zakat pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Walaupun beliau hanya memimpin dalam waktu yang cukup singkat.


Hal ini niscaya karena sistem Islam tegak di atas landasan ruhiyah. Kepemimpinan dalam Islam tidak sekadar berdimensi duniawi, melainkan juga ukhrawi. Maka paradigma inilah yang mendorong para penguasa berusaha sungguh-sungguh mengurus dan melayani rakyat karena beratnya pertanggungjawaban di akhirat.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadits: 'Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)' (HR. Imam Al Bukhori.).


Dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, maka negara akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para bapak agar bisa mencari nafkah, tanpa syarat dan birokrasi yang menyulitkan. Bila bapak sebagai kepala keluarga tidak bisa bekerja karena cacat atau sakit yang lama misalnya, maka beban nafkah beralih kepada kerabat terdekatnya. Dan bila kerabat terdekat pun tidak mampu, maka beban itu diambil alih negara. Artinya negara yang akan menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.


Hal ini bisa dilakukan karena ditunjang oleh kehadiran aturan Islam yang berfungsi sebagai solusi kehidupan sehingga ketika diterapkan secara kafah, dipastikan akan mewujudkan kebahagiaan yang hakiki yang dirasakan oleh semua rakyat hingga orang per orang.


Strategi politik ekonomi Islam yang diterapkan, membuat distribusi kekayaan berjalan ideal dan optimal. Bukan beredar pada orang tertentu saja.Tidak boleh ada kekayaan yang dikuasai segelintir orang karena Islam mengatur soal kepemilikan, antara lain mengatur bahwa kekayaan alam yang luar biasa besar ini adalah milik rakyat secara keseluruhan. Negara diamanahi oleh Islam untuk mengelolanya dengan optimal demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini ditunjang juga oleh sistem-sistem lain yang diterapkan secara kafah, mulai dari sistem sosial, politik, sanksi, dan lain-lain sehingga semua celah kerusakan dan keburukan benar-benar akan tercegah. 


Wallahu a'lam bissowab


Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Buah Busuk Sekularisme, Rakyat Miskin Negara Abai

Terkini

Topik Populer

Iklan