Iklan

Iklan

Kebijakan Pemotongan Gaji, Nasib Buruh Semakin Diuji

BERITA PEMBARUAN
07 April 2023, 14:24 WIB Last Updated 2023-04-07T07:24:08Z


Oleh : Mira Ummu Tegar 


Buruh dan pengusaha kembali tidak akur dan berseteru, hal ini imbas dari Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan yang membuat aturan pemotongan gaji buruh sebesar 25 persen yang biasa diterima karyawan setiap bulannya.


Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengizinkan perusahaan-perusahaan ekspor atau eksportir untuk memotong gaji buruh serta mengurangi jam kerjanya. Kebijakan ini dilakukan pada eksportir yang terdampak ekonomi global.


Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang penyesuaian waktu kerja dan pengupahan pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global.



Buruh mengecam keras hal ini sebaliknya pengusaha tentu mendukung. Buruh menuding langkah Ida Fauziah menerbitkan aturan ini bahkan telah melanggar undang undang. Lebih lanjut menurut Presiden KSPI Said Iqbal, jika nilai penyesuian upah ini di bawah upah minimun, maka itu adalah tindakan pidana kejahatan.


Apalagi ada aturan yang dilanggar dalam penerapan aturan ini. Ia pun menyerukan para buruh melakukan mogok kerja jika upahnya dikurangi, tak hanya itu, Said Iqbal mengatakan bakal mendemo Kantor Menteri Ketenagakerjaan dan mengajukan gugatan ke PTUN.


Di sisi lain dari kalangan pelaku usaha. Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan, Anton J supit menilai aturan ini memiliki tujuan yang lebih luas, yakin menyelamatkan perusahaan dari meledaknya pemutusan hubungan kerja masal.(cnbcindonesia.com 19/3/2023).


Sejalan yang disampaikan oleh Anton J supit, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menjelaskan alasan pemerintah menerbitkan Permenaker 5 tahun 2023 adalah untuk mencegah terjadinya PHK yang terjadi di industri padat karya tertentu, yang berorientasi ekspor, yang meliputi industri tekstil dan pakaian jadi, industri alas kaki, Industri kulit dan barang kulit, industri furniture dan industri mainan anak. Sementara tujuan ekspor yang dimaksud dalam beleid tersebut spesifik untuk tujuan ekspor Amerika Serikat dan Uni Eropa.


Indah memaparkan bahwa nilai ekspor industri-industri tersebut sedang dalam tren penurunan yang signifikan. Misalnya ekspor industri tekstil yang ekspor ke Amerika Serikat pada Januari-Februari 2021 sebesar USD 53.3 juta turun menjadi USD 37,9 juta pada Januari-Februari 2022 atau turun 29,23 persen. Contoh lainnya, ekspor industri furniture ke Uni Eropa pada Januari-Februari 2021 sebesar USD 111,8 juta turun menjadi USD 81,58 juta pada Januari-Februari 2022, nilainya turun 27,07 persen.


Hal yang berbeda diungkap oleh Timboel Siregar selaku Koordinator BPJS Watch, Ia menganggap kebijakan pembayaran 75 persen dari upah yang biasa diterima buruh, bukan solusi untuk menekan angka PHK.


Karena menurutnya hubungan kerja di industri padat karya berorientasi ekspor umumnya merupakan pekerjaan kontrak dan outsourcing. Sehingga perusahaan tetap dengan mudah memutus ikatan kerja, sebaliknya yang rawan terjadi adalah upah yang kecil dengan minimnya jaminan pemutusan kerja.


Timboel juga melihat kondisi industri pada Karya tidak separah yang dikatakan pemerintah. Ia mengatakan permintaan dari luar negeri juga masih meningkat dan kondisi tersebut membuat kinerja perusahaan berorientasi ekspor seharusnya juga membaik. Untuk itu tidak ada alasan melakukan pemotongan upah kerja.


"Secara komulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Februari 2023 mencapai USD 43,72 miliar atau naik 10,28 persen dibanding periode yang sama tahun 2022. Sementara ekspor nonmigas mencapai USD 41,05 miliar atau naik 8,73 persen. Apalagi mata uang asing seperti dolar Amerika terus menguat. Ini artinya pendapatan mata uang asing lebih besar dan bila ditukar ke rupiah, maka rupiah akan semakin besar. Cash Flow semakin membaik. Ini artinya alasan melakukan PHK tidak objektif lagi,"  jelas Timboel.(m.kumparan.com 19/3/2023)


Demikianlah persoalan ketenagakerjaan terjadi entah untuk yang kesekian kalinya, namun inilah potret nyata dihadapan kita, kesepakatan dan keridhoan untuk saling bekerjasama dalam kontrak kerja (akad ijaroh) sering kali menemukan jalan buntu, apalagi posisi negara yang seharusnya hadir sebagai mediator dan penengah untuk menempuh kebijakan yang menghadirkan keadilan di kedua belah pihak sangatlah minim. Bahkan justru terkesan berpihak kepada para pengusaha (oligarki).


Hal ini bukanlah tanpa sebab, adalah demokrasi kapitalisme sebagai biang dari semua permasalahan kebijakan pemerintah yang selalu saja berpihak kepada para pengusaha/oligarki. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa duduknya penguasa/pemerintah ditampuk kekuasaannya tidak lepas dari support dana yang tidaklah sedikit dari para pengusaha/oligarki.


Dan ketika orang yang di support tadi duduk di pemerintahan maka selanjutnya politik balasbudilah yang terjadi. Maka tidak heran ketika kebijakan-kebijakan yang ada tidak akan pernah berpihak kepada rakyat kecil khususnya buruh. Kereta hal ini jelas sarat dengan kepentingan para pengusaha/oligarki.


Dalam sistem Kapitalisme buruh/pekerja merupakan bagian dari faktor produksi sehingga ketika perusahaan mengalami penurunan produksi kerena permintaan pasar yang berkurang.


Maka untuk mencegah kerugian yang besar karena harus membayar upah buruh sementara pemasukan perusahaan berkurang dari turunnya produksi. Menjadi salah satu solusinya adalah mengurangi faktor produksi termasuk mengurangi para buruh dengan jalan PHK atau memangkas upah para buruh.


Karena tidak bisa dipungkiri bahwasanya perusahaan/korporat butuh dana yang tidak sedikit untuk membiayai kondisi politik negeri agar perusahaan/korporat mereka kondusif dan tetap exis sesuai kepentingan mereka. Sehingga jelaslah sistem ini tidak mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi para buruh.


Demikianlah sistem Kapitalisme yang menaungi negeri ini. Semua kebijakan akan bermuara pada kepentingan dan kesepakatan politik antara pengusaha dan penguasa negeri. Rakyat dalam sistem ini hanyalah objek yang menjadi tumbal dari keserakahan nafsu mereka. Meskipun ada yang berupaya kritis untuk menggugat kebijakan demi menggapai keadilan, namun hal itu bak meraih rembulan, hal yang sia-sia karena merekalah penguasa dan pengaturnya.


Hal yang berbeda dihadirkan Islam dalam persoalan ketenagakerjaan. Dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah, syariat Islam menjadi landasan dalam pengaturan dan pengelolaan negara, sebagaimana dalil berikut ".... menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dan menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (TQS. Al An'am; 57).


Sehingga kebijakan yang diambil pastilah menstandarkan pada syariat Islam, regulasi dan undang-undang yang dibuat tidaklah menyalahi syariat Islam. Tidak ada intervensi dari pihak manapun termasuk para pengusaha, sehingga tidak ada produk hukum yang dibuat berdasarkan kepentingan manusia atau politik kepentingan sebagaimana halnya dalam sistem Kapitalisme.


Dalam Islam negara menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan serta kebutuhan dasar rakyatnya. Islam memiliki sistem ekonomi yang menerapkan aturan yang berkeadilan dari pengaturan kepemilikan hingga distribusi harta ditengah masyarakat.


Tidak ada kebebasan berkepemilikkan. Kepemilikan harta hanya boleh dengan menstandarkan pada halal dan haram. Dan pengaturan kepemilikan harta dalam Islam di bagi menjadi 3 kategori, kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara, dan tidak dibenarkan  bagi seseorang memiliki harta apa saja dengan cara apa saja tetapi harus terikat dengan ketentuan Islam baik cara memperoleh harta maupun memanfaatkannya.


Islam pun tidak mengenal kebebasan bekerja, seseorang boleh bekerja namun harus sesuai ketentuan syariat. Dan dalam Islam perjanjian antara pengusaha dan buruh/pekerja sepenuhnya tergantung pada kontak kerja (akad ijaroh) yang harus memenuhi ridho wal ikhtiar, sehingga perjanjian antara keduanya harus saling menguntungkan tidak boleh ada yang mendzolimi.


Dalam menentukan standar gaji pekerja maka Islam menetapkan berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan pekerja bukan living cost atau biaya hidup terendah, sehingga tidak ada eksploitasi pekerja oleh majikannya.


Jika terjadi sengketa antara pengusaha dan pekerja maka pakarlah (khubaro) yang menentukan upah sepadan, pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak, namun jika masih bersengketa maka negara lah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.


Negara dalam Islam tidak akan menetapkan upah minimum bagi pekerja sebagaimana ketidakbolehan menetapkan harga, karena keduanya sama-sama kompensasi yang diterima seseorang, dimana harga adalah kompensasi barang dan upah adalah kompensasi jasa.


Demikianlah pandangan Islam terkait ketenagakerjaan, sangatlah memuliakan dan memanusiakan manusia. Masihkah berharap dengan sistem Kapitalisme yang sudah jelas dan terbukti tidak mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan ditengah masyarakat, saatnya kembali ke Islam dengan penerapan syariatnya secara kaffah.  Wallahu a'lam bishowab.


Penulis adalah aktivis Muslimah Balikpapan Kalimantan Timur 

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kebijakan Pemotongan Gaji, Nasib Buruh Semakin Diuji

Terkini

Topik Populer

Iklan