Oleh : N. Hartono
Dalam dua bulan terakhir, istilah preman kembali menjadi sorotan utama media massa. Pemerintah pun bergerak cepat dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Premanisme di berbagai daerah, merespons meningkatnya keresahan masyarakat akibat maraknya aksi yang dikaitkan dengan premanisme.
Namun, pernahkah kita merenung lebih dalam, apa sebenarnya makna kata 'preman'? Mengapa istilah ini selalu dikaitkan dengan kekerasan dan tindakan kriminal?
Asal Usul Kata 'Preman'
Secara etimologis, kata preman berasal dari bahasa Belanda vrijman, yang berarti orang bebas atau tidak terikat kontrak kerja. Dalam bahasa Inggris, padanannya adalah free man. Karena kesulitan pelafalan di lidah masyarakat lokal, istilah ini mengalami perubahan menjadi 'preman'.
Awalnya, makna kata ini bersifat netral, bahkan positif, karena menunjuk pada seseorang yang merdeka atau mandiri. Namun seiring waktu, maknanya bergeser. Dalam konteks sosial Indonesia, preman kini identik dengan sosok yang kasar, mengintimidasi, dan sering kali terlibat tindakan kriminal.
Premanisme Masalah Perilaku, Bukan Profesi
Label preman seharusnya tidak semata-mata disematkan pada mereka yang menganggur dan berkeliaran di jalanan. Premanisme sejatinya adalah bentuk perilaku yang merugikan orang lain, dan bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas dari jabatan atau profesinya.
Ironisnya, premanisme justru kian meluas ke institusi yang semestinya menjadi teladan, aparat penegak hukum, pejabat publik, bahkan kalangan wartawan.
Preman Berkedok Profesi
Beberapa waktu terakhir, pemberitaan media online mengungkapkan sejumlah kasus memprihatinkan. Salah satunya dari konferensi pers Satgas Anti Premanisme Polres Blora pada 26 Mei 2025, yang mengamankan lima pelaku pemerasan tiga di antaranya adalah oknum wartawan.
Kasus serupa juga terjadi di Aceh, di mana tiga oknum wartawan ditangkap Polres Bener Meriah pada April lalu karena diduga memeras kepala desa agar tidak memberitakan dugaan korupsi dana desa.
Sebagai sesama wartawan, penulis merasa prihatin. Apakah tindakan ini dipicu desakan ekonomi, atau ketidaktahuan terhadap kode etik jurnalistik? Profesi wartawan seharusnya menjunjung tinggi integritas, independensi, dan tanggung jawab sosial.
Wartawan bukan sekadar penyampai informasi, tetapi juga berperan sebagai edukator publik dan pembentuk opini. Untuk itu, kapasitas dan pemahaman etika perlu terus diasah, antara lain melalui pelatihan dan diskusi yang difasilitasi baik oleh organisasi profesi maupun lembaga pemerintah.
Sayangnya, dukungan dari instansi terkait dalam pembinaan wartawan di daerah masih minim. Ketidakhadiran negara dalam aspek ini memperburuk kualitas jurnalisme dan membuka celah bagi lahirnya premanisme berbaju pers.
Saatnya Berkaca dan Berbenah
Premanisme bukan tentang tubuh kekar atau tampang garang di pinggir jalan. Premanisme adalah soal perilaku siapapun yang menyalahgunakan kekuasaan, memeras, atau merugikan orang lain sejatinya adalah preman, tak peduli seragam atau profesinya.
Khusus bagi wartawan, menjaga integritas dan menjalankan fungsi edukatif adalah cara paling ampuh menjauhkan profesi ini dari stigma premanisme. Di tengah derasnya arus informasi dan tantangan profesi, wartawan harus tetap menjadi teladan, bukan justru menjadi bagian dari masalah.
Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Media Massa