Iklan

Iklan

Narasumber Sebuah Pemberitaan Dipidanakan, Ini Penjelasan dari Perspektif UU Pers

BERITA PEMBARUAN
05 Juni 2025, 23:13 WIB Last Updated 2025-06-06T04:47:25Z


Oleh : A. Ferryanto, S.H., M.H., C.L.A., C.T.L., C.P.I.R. Advokat Forum Jurnalis Media Karawang (FOJUMIKA)


Pendahuluan


Polemik perkara yang saat ini lagi viral di Karawang yaitu diduga telah terjadi kriminalisasi terhadap seorang narasumber di sebuah pemberitaan media online. Narasumber tersebut adalah Yusuf Saputra Bin Karsam (Alm) yang didakwa dalam perkara pidana nomor: 7/Pid.B/2025/PN Kwg tertanggal 21 Januari 2025, berdasarkan penelusuran di website SIPP Pengadilan Negeri Karawang terlihat sudah masuk agenda tuntutan. 


Saudara Yusuf Saputra (Terdakwa) didakwa dengan Dakwaan Alternatif yaitu:

- Dakwaan Kesatu: "melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran dengan tulisan, jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis boleh untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, jika tidak membuktikannya maka dihukum karena melakukan fitnah”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 311 KUHP. 


- Atau Dakwaan Kedua : dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 27 A Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


- Atau Dakwaan Ketiga : “dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum yang maksudnya supaya hal itu diketahui umum”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 310 Ayat (2) KUHPidana.


Selanjutnya dikutip dari ringkasan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Karawang di SIPP Pengadilan Negeri Karawang tersebut, dapat kita lihat kronologis singkatnya adalah sebagai berikut:


1. Berawal pada hari Sabtu tanggal 19 Agustus 2023 sekitar pukul 18.30 WIB Terdakwa Yusup Saputra Bin Karsam (Alm) menghubungi Saksi Andi Bin Ido yang merupakan Wartawan pada media SejagatNews melalui pesan WhatsApp dan mengirimkan voice note yang isinya mengenai informasi, bahwa Kepala Desa Pinayungan telah menerima bantuan CSR dari PT. Tenang Jaya Sejahtera berupa uang sejumlah Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) per satu bulan.


Dan selanjutnya, Terdakwa Yusup Saputra Bin Karsam (Alm) meminta Saksi Andi Bin Ido untuk menyiarkan informasi tersebut di media SejagatNews, kemudian Saksi Andi Bin Ido pun membuat berita tersebut lalu dimuat di laman berita SejagatNews.


2. Bahwa selanjutnya pada hari Minggu tanggal 20 Agustus 2023  bertempat di Dusun Sukatani RT. 008 RW. 004 Desa Pinayungan Kecamatan Telukjambe Timur Kabupaten Karawang, Saksi Eka Angelia (Korban) mendapatkan berita yang dilansir oleh media SejagatNews dengan judul “Terkait Gugatan “Tokoh Masyarakat Menyayangkan Sikap Kepala Desa Pinayungan Terkesan Serakah”.


Dalam berita tersebut disebutkan bahwa Saksi Eka Angelia selaku Kepala Desa Pinayungan telah menerima bantuan CSR dari PT. Tenang Jaya Sejahtera berupa uang sejumlah Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) per satu bulan, membaca berita tersebut selanjutnya pada hari Rabu, tanggal 23 Agustus 2023 Saksi EKA ANGELIA (Korban) bersama dengan Kuasa Hukum mengundang pihak media SejagatNews.


Kemudian media SejagatNews yang dalam hal ini diwakili oleh Saksi Andi Bin Ido memberikan klarifikasi mengenai narasumber dari berita tersebut yakni Terdakwa Yusuf Saputra Bin Karsam (Alm), Selanjutnya Saksi Eka Angelia (Korban) yang merasa difitnah melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak kepolisian untuk diproses hukum lebih lanjut.


3. Bahwa Saksi Eka Angelia (Korban) menjabat sebagai Kepala Desa Pinayungan sejak tahun 2019 sampai dengan sekarang, dan Saksi Eka Angelia (Korban) tidak pernah menerima bantuan CSR berupa uang sejumlah Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) per satu bulan dari PT. Tenang Jaya Sejahtera.


4. Bahwa akibat berita tersebut,  Saksi Eka Angelia mengalami kerugian karena berita tersebut menimbulkan keresahan pada Warga Desa Pinayungan yang mana Warga Desa Pinayungan bertanya-tanya dan menyudutkan Saksi Eka Angelia selaku Kepala Desa Pinayungan.


Analisa Hukumnya


Inti dari kasus ini dapat kita tarik kesimpulan adalah bermula dari sebuah informasi dari seorang Yusup Saputra dan kemudian dijadikan dasar pemberitaan oleh Andi Bin Ido selaku Wartawan media online SejagatNews. Kemudian seorang Kepala Desa Pinayungan yaitu Eka Angelina merasa dirugikan atau merasa korban atas pemberitaan tersebut. 


Perspektif yang dapat kita tangkap adalah "berasal dari sebuah pemberitaan", ini perlu kita garisbawahi. Kenapa? Sebab setelah adanya pemberitaan yang merupakan karya atau kerja jurnalistik, telah menimbulkan anggapan ada pihak yang dirugikan akibat pemberitaan melalui media SejagatNews. 


Point pentingnya adalah secara fakta jika sepanjang tidak ada pemberitaan melalui media siber/online SejagatNews, maka tentu tidak ada pula tindakan penyebaran informasi dari hal-hal yang disampaikan oleh seorang narasumber yaitu Yusup Saputra. 


Kebenaran sebuah informasi yang disampaikan oleh narasumber yang akan diberitakan oleh seorang wartawan/jurnalis melalui medianya, harus terlebih dahulu ada upaya klarifikasi informasi juga kepada pihak terkait yang akan diberitakan. Tujuannya agar pemberitaan tersebut terdapat informasi yang berimbang dan tidak sepihak serta teruji validitasnya. 


Apakah tindakan tersebut sudah dilakukan oleh wartawan SejagatNews untuk mengklarifikasi kebenaran informasi yang didapatnya dari sumber tersebut, diantaranya kepada pihak yang disebutkan yaitu Kepala Desa Pinayungan menerima dana CSR dan Perusahaan yang memberikan dana CSR?. 


Jika sudah dilakukan, maka apa tanggapannya? Jika ada bantahan-bantahan yang disampaikan maka wartawan juga harus memuatnya dalam pemberitaannya, agar terdapat informasi yang berimbang. 


Seandainya sudah dilakukan konfirmasi, namun pihak yang diberitakan tidak dapat ditemui dan atau tidak memberikan respon, maka si wartawan boleh tetap mengangkat pemberitaan tersebut dengan catatan harus memuat informasi tentang tindakan seorang wartawan sudah melakukan konfirmasi kepada sumber tersebut, namun tidak ada memberikan respon atau karena alasan-alasan lainnya. 


Setelah dipublikasikan oleh si wartawan menjadi pemberitaan, maka saat itu timbullah hak jawab/tanggapan atau sanggahan atas pemberitaan dimaksud, jika pemberitaan tersebut dianggap tidak benar atau dianggap menyesatkan. 


Maka atas hak jawab yang disampaikan, media bersangkutan yang telah menerbitkan berita sebelumnya, juga harus memuat kembali hak jawab tersebut di medianya. Inilah pentingnya sebuah kalimat pemberitaan/karya jurnalistik yang berimbang yang dianut dalam kode etik jurnalistik. 


Dalam kode etik jurnalistik, prinsip pemberitaan berimbang dijunjung tinggi. Hal ini termaktub dalam Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik. Setiap Wartawan itu harus selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.


Jika dari awal pemberitaan tersebut, dilakukan secara etika jurnalistik, tentu persoalan ini tidak akan terjadi sebuah polemik dengan dugaan telah terjadi kriminalisasi terhadap seorang narasumber dalam sebuah berita. 


Maka, solusi hukum dalam UU Pers telah jelas menerangkan jika ada kesalahan dalam pemberitaan, setiap orang berhak untuk menuntut klarifikasi melalui hak jawab dan hak koreksi. 


Kedua hak ini diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers jo. Peraturan Dewan Pers Nomor: 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab, yang menjamin perlindungan bagi mereka yang merasa dirugikan oleh media. 


Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU No. 40 Tahun 1999 yang berbunyi, hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hal ini memungkinkan seseorang untuk menyampaikan versi mereka terkait fakta yang diberitakan. 


Misalnya dalam kasus ini, jika ada pemberitaan yang menuduh Kepala Desa Pinayungan menerima bantuan CSR dari PT. Tenang Jaya Sejahtera berupa uang sejumlah Rp120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) per satu bulan, Kepala Desa Pinayungan bisa memberikan penjelasan untuk memperbaiki kesalahpahaman informasi tersebut.


Sedangkan hak koreksi, berdasarkan Pasal 1 angka 12, adalah adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. 


Hak ini tidak hanya terbatas pada informasi tentang diri sendiri, tetapi juga bisa digunakan untuk memperbaiki kesalahan informasi mengenai orang lain. Contoh sederhananya, dalam berita tersebut terjadi kesalahan dalam penulisan nama atau detail peristiwa dalam berita.


Antara hak jawab dan hak koreksi itu berbeda namun fungsinya sama-sama untuk memperbaiki pemberitaan yang salah/keliru. Hak jawab digunakan untuk menanggapi pemberitaan yang merugikan secara langsung, sementara hak koreksi lebih berfokus pada pembetulan fakta yang tidak akurat. 


Memuat hak jawab, dengan atau tanpa permintaan maaf, adalah keharusan. Secara etik, salah satu fungsi pelayanan hak jawab adalah menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers. Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers mewajibkan pers untuk melayani hak jawab dan hak koreksi. 


Jika hal itu tidak dilakukan pers terancam pidana denda sebesar Rp 500 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Ayat (2). Dengan demikian, persoalan hak jawab bukan hanya masalah etik tetapi juga berkaitan dengan sanksi hukum pidana. 


Perlu kita perhatikan adalah terdapat pemberitaan dari wartawan/media online/siber yang merugikan seperti fitnah dan pencemaran nama baik, maka kita harus mengacu pada ketentuan dalam UU Pers. 


Apa alasannya? UU Pers merupakan lex specialis dari UU ITE dan perubahannya maupun KUHP dan UU No. 1 Tahun 2023 sebagai lex generali, sehingga berlaku asas "lex specialis derogat legi generali". Selain itu, dapat juga kita lihat dalam Lampiran SKB UU ITE angka 3 huruf l yang menjelaskan bahwa pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan UU Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis bukan UU ITE.


Berkaitan dengan kasus yang saat ini banyak kalangan membahasnya, tentu harus bijak melihatnya kenapa kasus ini bisa naik ke meja hijau tentu sudah ada proses penyelidikan dan penyidikan dari Penyidik Polres Karawang dan Diyakini oleh Pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Karawang sehingga diajukan dakwaan ke Pengadilan Negeri Karawang, yang saat ini sedang dalam proses persidangan. 


Kita lihat hasil pembuktian dari seorang JPU dalam membuktikan dakwaan dan tuntutannya, begitupun Terdakwa dan Penasihat Hukumnya apakah mampu menghadirkan bukti dan Saksi dalam membantah dalil-dalil Dakwaan JPU. 


Agar dalam proses hukum ini Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan dasar independensinya bisa melihat secara obyektif perkara ini, apakah telah memenuhi unsur suatu tindak pidana apa tidak. Kita tunggu hasil putusannya secara inkrah, apakah yang didalilkan JPU terbukti atau Terdakwa dibebaskan. 


Karena kita ini adalah pihak diluar ruangan persidangan, sehingga tidak membaca berkas perkara secara utuh. Tentunya akan berbeda kesimpulan kita dalam memandang kasus yang saat ini sedang berproses. 


Namun demikian, perlu kita ketahui sudah pernah ada Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 646 K/Pid.Sus/2019 dengan terdakwa seorang pengacara Mohammad Amrullah dengan amar membebaskan Mohammad Amrullah dari dakwaan. 


Dalam pertimbangannya, MA menyatakan narasumber berita tidak bisa dikenakan Pasal Pencemaran Nama Baik di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 


"Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu atau dakwaan kedua. Membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan tersebut," ujar majelis kasasi.


Bahwa kendati Terdakwa telah terbukti melakukan wawancara yang diliput, disiarkan dan ditulis oleh beberapa media baik online maupun media elektronik lainnya akan tetapi perbuatan Terdakwa tersebut tidak dapat dinilai sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebab;


a. Terdakwa tidak melakukan secara langsung (direct) ke dalam sistem elektronik, melainkan pihak yang langsung melakukan ke dalam sistem elektronik adalah Para Wartawan media yang meliput, menyiarkan dan menulis hasil wawancara tersebut.


b. Bahwa hasil wawancara Terdakwa dengan beberapa media karena sudah diolah menjadi berita sehingga termasuk karya jurnalistik, maka pertanggungjawabannya ada pada pengelola media yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;


c. Bahwa oleh karena itu apabila pihak PT BSI merasa dirugikan atas pemberitaan yang dimuat dan disiarkan beberapa media a quo dapat saja melakukan/menempuh Hak Jawab atau Hak Koreksi kepada media-media yang bersangkutan vide Pasal 5 juncto Pasal 1 Angka 11 dan angka 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


Penutup

Semoga tulisan ini bisa jadi rujukan dan pengetahuan buat kita semua terkait esensial sebuah UU Pers dalam menganalisa kasus-kasus yang berkaitan dengan pers dan kerja-kerja jurnalistik. 


Kita juga berharap terhadap kasus hukum yang saat ini sedang berproses di PN Karawang terhadap diri Saudara Yusup Saputra (Terdakwa), bisa menghasilkan suatu putusan Majelis Hakim yang benar-benar menegakkan hukum agar terwujudnya suatu asas keadilan dan kepastian hukum buat semua pihak, tidak hanya yang sedang berperkara namun bisa jadi rujukan hukum kedepannya bagi masyarakat luas. 


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Narasumber Sebuah Pemberitaan Dipidanakan, Ini Penjelasan dari Perspektif UU Pers

Terkini

Topik Populer

Iklan