Oleh : Muhammad Indra Kurniawan
Empat ratus sembilan puluh sembilan tahun.
Ucapkan angka itu pelan-pelan. Resapi. Hampir lima abad. Waktu yang cukup untuk sebuah dusun kecil menjadi pusat peradaban dunia. Waktu yang cukup untuk melahirkan puluhan pemikir, ratusan seniman, ribuan karya yang tak lekang oleh zaman.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri, sambil memandang Sungai Martapura yang mengalir lesu. Dalam lima abad ini, karya besar apa yang telah kita lahirkan? Gagasan cemerlang apa yang menyebar ke seluruh Nusantara dari tepian sungai kita? Siapa nama penulis dari Banjarmasin yang karyanya digugat dan diperdebatkan di balai-balai sastra? Siapa pemikir dari tanah Banjar yang gagasannya sanggup mengguncang cara pandang bangsa ini?
Sunyi. Tak ada jawaban. Hanya gema dari pertanyaan itu sendiri.
Mereka akan menunjuk gedung-gedung baru yang tinggi. “Lihat,” kata mereka, “itulah kemajuan!” Mereka akan menunjuk pada mal-mal yang ramai dan kafe-kafe yang sesak. “Lihat,” kata mereka, “itulah kebudayaan baru kita!”
Aku melihat semua itu, dan aku justru melihat sebaliknya. Aku melihat kekosongan. Kemajuan macam apa yang diukur dari berdirinya beton-beton asing yang membelakangi sungai, jiwa kita sendiri? Kebudayaan macam apa yang isinya hanyalah meniru dan mengkonsumsi, tanpa pernah melahirkan? Kita telah menjadi pasar yang riuh, tapi kita lupa caranya menjadi dapur yang memasak gagasannya sendiri.
Kita adalah kota yang tua, Nak, tapi kita menolak untuk menjadi dewasa.
Kedewasaan sebuah kota tidak diukur dari lebarnya jalan aspal, tapi dari lebarnya wawasan berpikir warganya. Kebesaran sebuah peradaban tidak dibangun dari baja dan kaca, tapi dari keberanian untuk bertanya, untuk menggugat, untuk mencipta. Dan di situlah letak penyakit kita. Kita telah menjadi masyarakat yang takut bertanya.
Kita ciptakan guru-guru, pemimpin-pemimpin, dan tokoh-tokoh yang tak boleh dikritik. Kita lestarikan budaya feodal ‘asal bapak senang’, budaya menunduk yang diwariskan kompeni dan para raja. Kita lebih suka menjadi beo yang penurut daripada menjadi elang yang terbang bebas.
Empat ratus sembilan puluh sembilan tahun kita habiskan untuk menjadi konsumen gagasan orang lain, menjadi kuli bagi modal orang lain, menjadi penonton di atas tanah kita sendiri.
Kita punya sejarah perlawanan yang agung dari seorang Pangeran Antasari, tapi kita lebih memilih untuk mewarisi semangat menyerahnya. Haram manyarah, pekiknya. Tapi pekik itu kini hanya jadi slogan mati di papan-papan nama jalan.
Tahun depan, usia kota ini akan genap lima abad. Sebuah tonggak waktu yang agung. Pertanyaannya, apakah kita akan merayakannya lagi dengan pesta pora yang hampa seperti ini? Ataukah kita akan menandainya sebagai hari pertama kita untuk memulai?
Memulai untuk membangun satu-satunya hal yang tak pernah kita bangun dengan sungguh-sungguh: pikiran dan martabat manusia-manusianya.
Cukup sudah kita menjadi pasar. Saatnya kita menjadi pabrik. Pabrik gagasan, pabrik pertanyaan, pabrik keberanian, dan pabrik karya. Jika tidak, maka usia lima abad itu bukanlah sebuah kehormatan. Ia adalah sebuah aib. Sebuah penanda dari kegagalan kita sebagai manusia.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin