![]() |
| Seorang pensiunan saat melupakan emosi karena uang kadeudeuh tidak kunjung dicairkan. |
KARAWANG | Kericuhan mewarnai pertemuan antara ratusan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Kabupaten Karawang, Senin (01/12/2025).
Para pensiunan menuntut pencairan uang "kadeudeuh" (dana purna bakti) sebesar Rp14 juta yang tak kunjung cair, sementara pengurus KORPRI mengaku kas organisasi dalam kondisi kosong akibat masalah warisan kepengurusan periode sebelumnya. Padahal, uang kadeudeuh tersebut merupakan uang yang dipotong dari gaji para ASN setiap bulannya.
Ketua KORPRI Kabupaten Karawang, Asip Suhendar, yang didampingi oleh Ridwan Salam, secara blak-blakan mengungkapkan bahwa ketidaksanggupan KORPRI membayar uang kadeudeuh sebesar Rp14 juta disebabkan ketiadaan dana yang ditinggalkan oleh pengurus lama.
“Uangnya kurang, enggak ada. Kalau ditanya uangnya ke mana, ya saya tidak hafal dulunya seperti apa. Saat serah terima (dari pengurus lama), uang tunai limit sama sekali, aset juga belum semuanya jelas,” tegas Asip.
Asip menjelaskan bahwa angka Rp14 juta yang dituntut para pensiunan merupakan hasil perhitungan kepengurusan lama yang dinilai tidak realistis dan salah hitung sejak awal.
Menurutnya, jumlah pemasukan dari iuran PNS aktif tidak sebanding dengan gelombang pensiunan yang membludak, mencapai ratusan orang per tahun.
“Dari awal, ini bukan menyalahkan yang lama ya, tapi Rp. 14 juta ini ngitungnya seperti apa? Kami tidak hafal situasi awal dulunya. Faktanya, dengan ratusan pensiunan yang harus dibayar, dananya kurang drastis,” ujar Asip.
Ia menegaskan, jika KORPRI memaksakan membayar Rp14 juta sesuai tuntutan, organisasi tidak akan pernah mampu melunasi tunggakan tersebut sampai kapan pun.
“Kalau sekarang dipaksakan 14 juta, sampai kapan pun enggak akan kebayar. Justru dengan opsi Rp. 7 juta inilah, itu supaya dana bisa bergulir dan targetnya tahun depan bisa selesai,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Ridwan Salam yang mendampingi Asip turut menyoroti buruknya administrasi dan transfer data dari kepengurusan lama.
Ridwan menyebut bahwa bukti setoran iuran di masa lalu sulit dilacak.
“Sekarang pembuktian setorannya di mana? Itu ada di pengurus lama. Kita masuk sebagai pengurus baru pemahamannya kas sudah dalam kondisi seperti ini,” jelas Ridwan.
Menanggapi ketidakpercayaan para pensiunan yang menduga uang tersebut "dimainkan", Asip menegaskan bahwa pihaknya telah menggandeng Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melakukan audit menyeluruh agar aliran dana menjadi transparan.
“Makanya kita pakai pemeriksaan KAP supaya jelas. Hasilnya ya, tidak ada dana cukup,” timpal Asip.
Berdasarkan hitungan pengurus saat ini, KORPRI Karawang membutuhkan dana segar sekitar Rp. 16 hingga Rp. 17 miliar untuk menyelesaikan seluruh tunggakan kepada pensiunan.
Namun, Asip memprediksi tahun depan beban akan sedikit berkurang karena jumlah PNS yang pensiun diprediksi menurun, meski penerimaan CPNS baru juga sedikit.
Terkait ancaman para pensiunan yang akan melaporkan kasus ini kepada Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa KDM, Asip menyatakan kesiapannya.
Ia justru menilai langkah tersebut akan membuka fakta sebenarnya mengenai kondisi keuangan KORPRI yang ditinggalkan pengurus lama.
“Enggak apa-apa, biarin aja dilaporkan. Supaya mereka tahu kondisi sebenarnya (bahwa uangnya tidak ada),” pungkas Asip.
Hingga berita ini diturunkan, suasana masih memanas. Para pensiunan menolak opsi penurunan dana menjadi Rp7 juta dan tetap menuntut hak mereka dibayarkan penuh sesuai perjanjian awal.
Mereka juga mengatakan, akan mengadukam persoalan ini kepada DPRD Kabupaten Karawang dilanjutkan kepada KDM.
"Kami menolak Rp. 7 juta tetap Rp. 14 juta. Kami akan lanjut audiensi dengan Dewan lalu Lanjut KDM," kata Ave, pensiunan lurah Karawang Wetan.
Sementara itu, salah seorang pensiunan Kepala Sekolah di wilayah Pangkalan merasa sudah menunaikan kewajiban selama 40 tahun melalui potong gaji otomatis dari mulai Rp. 5000 hingga Rp. 100 ribu, sehingga alasan hanya diberi Rp. 7 juta setengahnya dari Rp.14 juta dianggap tidak masuk akal dan tidak adil. (*)
