Oleh : Noorhalis Majid
Tidak terdengar ekspose 100 hari kinerja kepala daerah. Baik kinerja Gubernur, atau pun Walikota dan Bupati. Kalau pun ada sebagian kepala daerah yang mengekspose, jumlahnya sedikit sekali, termasuk capaian kinerjanya.
Pertanyaan mendasar yang layak diajukan, apa yang sudah dilakukan oleh Gubernur selama 100 hari kinerjanya? Adakah suatu hal yang mendasar, yang membawa pada harapan? Pun begitu terhadap Walikota dan Bupati, adakah perubahan yang sudah dimulai? atau semua kembali terjebak pada rutinitas?
Apakah ekspose 100 hari kinerja kepala daerah sudah tidak penting lagi? Sehingga tidak ada perlombaan adu prestasi dari masing-masing kepala daerah dalam bentuk ekspose kinerja. Bukankah hal tersebut biasanya menjadi ajang untuk memberitahukan kepada publik, bahwa apa yang sudah dijanjikan saat kampanye dan debat calon, benar-benar dilaksanakan dan sudah tercapai sekian persen, sesuai waktu yang dijanjikan.
Publik juga sepertinya tidak banyak yang mempertanyakan minimnya ekspose 100 hari kinerja kepala daerah ini, atau bahkan sudah lupa, bahwa semua yang sudah dijanjikan, harus ditagih komitmennya, dimulai dari 100 hari kinerja pertama, dan dilanjutkan pengawasan pada hari-hari berikutnya. Publik yang cerewet, itulah yang dapat mengawal kepala daerah untuk konsisten pada janjinya.
Pelupa, memang menjadi 'penyakit' yang lazim atas soal-soal terkait janji politik. Entah bagi publik sebagai pemilih, apalagi bagi kepala daerah yang sudah terpilih. Setelah Pemilu berlalu, cenderung lupa akan janji yang sudah diterima. Janji tinggal janji, berlalu seiring waktu, dan seperti bukan sesuatu yang penting untuk diingat, apalagi dituntut.
Begitu juga bagi yang berkuasa. Setelah kekuasaan diraih, tidak perlu menunaikan semua yang sudah diucapkan, toh tidak ada juga kepala daerah - bahkan Presiden sekalipun, yang diberhentikan atau diturunkan dari jabatan karena tidak menunaikan janji yang sudah disampaikan. Toh sudah dibayar juga dalam bentuk politik uang.
Akibatnya, kalau janji kampanye tidak terlaksana, bukanlah menjadi beban pikiran. Kepala daerah terus berlenggang dengan agenda rutin seremonial yang bahkan jauh dari janji kampanyenya.
Padahal, penting sekali ekspose 100 hari kinerja, sebagai pembuktian kepemimpinan yang amanah dan akuntabel - kesesuaian antara janji dan perbuatan - ucapan dan tindakan. Bahkan, 100 hari, bisa menjadi titik pijak untuk memulai program-program yang lebih besar. Program yang dapat membawa perubahan pada daerah. Bahkan, titik berangkat untuk memberikan legacy kepemimpinan yang bermakna.
Kenapa mesti 100 hari? Karena itulah tenggat waktu yang cukup bagi kepala daerah untuk membuktikan bahwa dirinya mampu bekerja sesuai janji yang sudah dikampanyekan. Bukti bahwa tidak ada waktu terbuang untuk sesuatu yang percuma. Termasuk untuk seremonial, perjalanan ke Luar Negeri yang tidak penting, dan segala tindakan sia-sia, yang tidak terkait langsung dengan capaian kinerja. (**)
Penulis adalah Pegiat Sosial Kemasyarakatan di Kalimantan Selatan