Oleh : Noorhalis Majid
Kenapa sekarang ini tinggi sekali syahwat untuk memenjarakan warga? Padahal negara-negara lain, justru menghindari hukuman pemenjaraan. Karena pemenjaraan, adalah jenis hukuman paling purba bagi sejarah peradaban manusia.
Di Belanda dan negara-negara Skadinavia, penjara sudah lama kosong dijadikan museum atau obyek wisata. Bila ada warga yang berurusan dengan hukum, seketika negara mengoreksi dirinya.
Mempertanyakan pada diri negara sendiri, tentang kebijakan apa yang kurang? Tentang regulasi apa yang salah? Tentang pendekatan apa yang tidak menjawab kebutuhan? Bukan sekonyong-konyong pemenjaraan. Begitulah bila ingin membangun peradaban. Karena pemenjaraan, tidak pernah menghasilkan apapun, selain membebani negara. Berharap ada efek jera, justru wahana menjadi suhu.
Dalam dua atau tiga bulan terakhir ini, setidaknya banua dihebohkan oleh dua kasus terkait tingginya syahwat pemenjaraan atas warga yang dituduh bersalah. Kedua kasus tersebut menghebohkan pemberitaan nasional, karena mengganggu rasa keadilan warga secara umum.
Pertama, tentu saja kasus Mama Khas Banjar, sekedar tidak mencantum label kadaluarsa, dipenjara. Beruntung kasus ini sudah selesai atas kebijaksanaan Komisi III DPR RI.
Kedua, kasus Syarifah Hayana, pemantau Pilkada yang hanya karena melaporkan kecurangan PSU ke MK, diancam pidana 6 tahun penjara.
Apa yang salah dengan perspektif hukum kita? Kenapa syahwat pemenjaraan masih tinggi? Apakah menghukum dengan memenjarakan, memberikan kepuasan bagi para penuntut keadilan?
Kalau syahwat pemenjaraan masih tinggi, yakinlah peradaban hukum kita tidak akan pernah beranjak jauh, bahkan tidak akan pernah naik kelas ke level yang paling beradab.
Mestinya, pada saat LP Teluk Dalam, LP Martapura dan seluruh LP di Kalimantan Selatan sudah berpuluh tahun overload, bahkan overloadnya hingga 600%, ada koreksi sistematis terhadap paradigma penegakan hukum kita. Dilakukan otokritik terhadap kebijakan, regulasi, dan cara pendekatan pemerintahan pada warganya, tentang apa dan kenapa, hingga banyak warga yang terpaksa berurusan dengan hukum?
Saya mengusulkan, bagaimana kalau seluruh LP yang sudah overload tersebut, kita jadikan tempat workshop, untuk mencetak secara serius sumber daya manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Sebab pemenjaraan, tidak membawa pada peradaban apapun. (nm)
Penulis adalah Pegiat Sosial Kemasyarakatan Kalimantan Selatan